Cerpen  

Perjalanan Raya, Menerima Perubahan & Menemukan Kedamaian

Pertumbuhan Pribadi, Ikatan Keluarga, Nostalgia

Foto: Ilustrasi. Perjalanan Raya: Menerima Perubahan dan Menemukan Kedamaian
Foto: Ilustrasi. Perjalanan Raya: Menerima Perubahan dan Menemukan Kedamaian

Cerpen, Artikel Mahasiswa Langit sore itu kelabu, seakan menyatu dengan perasaan Raya yang tak menentu. Sudah seminggu ia pulang ke kampung halamannya, tetapi bukannya merasa nyaman, justru hatinya terasa semakin terasing. Jalanan yang dulu akrab kini terlihat berbeda. Pohon besar di depan rumah nenek yang biasanya teduh, kini hanya berdiri bisu tanpa dedaunan.

Raya duduk di teras rumah nenek, memandangi halaman kecil yang penuh rerumputan liar. Dulu, setiap kali pulang, tempat ini selalu menjadi pelariannya. Ia ingat, setiap kali merasa lelah dengan hiruk pikuk kota, ia akan duduk di sini, menenangkan diri dengan secangkir teh hangat dan suara burung yang bersahutan. Tapi kini, tak ada lagi burung yang bernyanyi. Hanya ada kesunyian.

“Kenapa kamu diam saja, Nak?” suara lembut nenek mengagetkannya. Nenek, meski sudah tua, selalu punya cara untuk mengetahui isi hatinya.

Raya tersenyum tipis. “Enggak apa-apa, Nek. Hanya… semuanya terasa berbeda sekarang.”

Nenek duduk di sebelah Raya, menatap cucunya dengan penuh pengertian. “Wajar, semuanya berubah, Nak. Tapi perubahan itu bukan berarti buruk.”

Raya menghela napas panjang. “Iya, tapi kadang rasanya seperti tersesat. Aku merasa kehilangan sesuatu, tapi aku enggak tahu apa.”

Nenek terdiam sejenak, lalu mengambil tangan Raya dan menggenggamnya erat. “Mungkin bukan tempatnya yang berubah, tapi dirimu sendiri.”

Kalimat nenek membuat Raya tersentak. Ia menunduk, merenungi kata-kata itu. Benar, mungkin selama ini dirinya terlalu fokus pada apa yang berubah di sekitarnya, sehingga lupa melihat ke dalam dirinya sendiri.

Waktu terus berlalu, kenangan-kenangan masa kecilnya masih jelas diingat, tetapi ia sendiri tak lagi sama. Raya bukanlah anak kecil yang berlari di tengah hujan di halaman rumah ini, bukan pula remaja yang tertawa bersama teman-temannya di bawah pohon besar itu. Ia sudah dewasa, dengan segala beban dan harapan yang menghimpitnya.

“Kadang, kita memang harus tersesat dulu, Nak, supaya bisa menemukan jalan yang baru,” lanjut nenek dengan senyum bijaknya.

Raya menatap nenek, mata tuanya yang penuh pengalaman seakan memberinya kekuatan baru. Ia sadar, tak ada gunanya terus menggali masa lalu untuk mencari jawaban. Yang bisa dilakukannya adalah menerima perubahan itu, dan melangkah ke depan.

“Saya mengerti, Nek,” kata Raya pelan, tapi mantap. “Mungkin saya memang harus belajar menerima apa yang terjadi, bukan melawannya.”

Nenek tersenyum lebar. “Itu cucu nenek. Kita tak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa menciptakan kenangan baru.”

Raya tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak ia pulang, hatinya terasa lebih ringan. Perubahan memang tak terelakkan, tapi ia kini sadar, tersesat di antara kenangan bukanlah akhir dari segalanya. Itu hanya bagian dari perjalanan yang lebih panjang—perjalanan menemukan kembali dirinya yang sesungguhnya.

Di sore yang kian gelap itu, Raya memutuskan untuk berdamai dengan kenangannya dan melangkah maju, tak lagi takut akan perubahan yang menunggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com